Cirebon : (17/03/2015) Selasa pagi (10.00 WIB) yang penuh asa membawa 4 orang pemuda Ahmadiyah Manislor yang bergabung dalam Buletin Kita (Aulia Fauziah, Lika Vulki, Fauzi Ahmad, dan Dadan Mubarak Hamdan) menuju Cirebon Timur.

Liputan Khusus - Empat Pemuda Ahmadiyah Manislor 'Blusukan' Banjir Cirebon Timur

Semua bermula ketika munculnya berita tentang bencana banjir yang melanda Cirebon Timur. Pagi itu mereka melakukan survei untuk memastikan kondisi para korban banjir ke beberapa titik di sana. Dengan persediaan obat Homeophaty dan salep yang seadanya.

Rute yang dimulai dari jalur Sangkanurip itu tiba pada titik pertama survei, Desa Cipeujeuh. Di sana tidak ada lagi banjir. Aktivitas warga pun terlihat normal. Perjalanan dilanjutkan ke arah Sindang Laut dengan kondisi khas Cirebon –yang  panasnya membuat warna kulit semakin eksotis. Pada titik kedua di daerah Karangsuwung. Lagi-lagi, tak ada tanda-tanda telah terjadinya banjir saat melintasi Pabrik Gula yang berdiri sejak jaman Belanda. Kami pun melanjutkan perjalanan. Dikarenakan kami mulai ragu telah terjadinya banjir, diputuskan untuk berhenti di Balai Desa Karangwareng. Setelah mencari informasi yang bersumber dari Kepala Desa Karangwareng (Ny. Eti) bahwa banjir menghampiri Desa Kubangdeleg dan Desa Jatipiring. Sebab dua desa tersebut menjadi muara dari semua aliran sungai dan terjadinya pendangkalan sungai.

Lalu, perjalanan dilanjutkan ke salah satu desa yang pernah ditempati oleh salah seorang jurnalis Buletin Kita, Desa Jatipiring. Desa Jatipiring memang langganan banjir setiap tahunnya. Namun pada tahun ini adalah banjir terbesar sejak beberapa puluh tahun terakhir. Di tengah malam warga kaget dengan kehadiran air luapan sungai yang masuk ke dalam rumah mereka, selutut orang dewasa kira-kira. Begitulah yang dijelaskan oleh Kepala Desa Jatipiring (Tn. Kusnadi). Bahkan Balai Desa pun terkena arus banjir. Sehingga saat hari Sabtu pagi warga dan perangkat desa gotong royong membersihkan Balai Desa. Memang saat kami berkunjung ke sana, sudah tidak ada lagi genangan air di sekitar Balai Desa. Hanya saja masih tersisa batas banjir di dinding, padi rusak yang terhempas arus air, dan kubangan air di jalan yang berlubang.

30 menit perbincangan hangat yang terjadi di Balai Desa Jatipiring, kami berkunjung ke Ny. Harti (yang dianggap oleh warga setempat) sebagai salah satu anak dari pemangku adat di Desa Jatipiring. Di sana pun kami disambut dengan hangat, hingga beliau menghidangkan santapan siang yang akhirnya mengisi perut kami yang sedari tadi dikocok karena jalan yang rusak.

“Alhamdulillah, Neng Lika. Luka di kaki ibu sudah mengering. Kondisi gula darah pun sudah stabil.” Jawab beliau ketika ditanya oleh Nn. Lika Vulki.

5 bulan yang lalu Ny. Harti menderita luka yang basah di tulang kering kaki kirinya. Usut punya usut bahwa beliau menderita Diabetes dengan kadar gula yang relatif tinggi. Di saat itu oleh Nn. Lika langsung diberikan salep Chrysant Zalf dan Homeophaty untuk Diabetes. Alhamdulillaah, luka yang basah itu kini telah mengering dan sudah rata dengan kulit yang lain. Setelah berbicara panjang lebar hingga 2 jam, perjalanan 4 jurnalis pun dilanjutkan menuju Pabuaran Kidul. Dan kami memutuskan untuk singgah di Masjid Desa Cikulak untuk jama’ shalat Dzuhur dan Ashar. Kemudian perjalan dilanjutkan menuju kecamatan Pangenan melalu jalur Gebang dan jalan Pantura. Dari hasil penelusuran informasi di Balai Desa Pangenan dan Desa Pengarengan, banjir terjadi di empat desa yang berada di Kecamatan Pangenan. Bahkan ada salah satu warga yang hilang terseret arus dan belum ditemukan hingga sekarang. Lagi-lagi, yang tersisa hanya genangan air di paritnya saja. Bahkan warga yang sempat mengungsi di masjid-masjid desa pun sudah kembali ke rumahnya dan beraktivitas seperti biasa.

“Harusnya kalian datang di saat banjir masih ada, kalau sekarang sih airnya sudah kering.” Canda Tn. Sujati, selaku Kepala Desa Pengarengan.

Pelajaran yang sangat berharga bagi kami. Atas nama bencana, atas nama kemanusiaan, atas nama kebaikan; tak ada yang harus ditunda. H+3 saja sudah sangat tertinggal langkah jika ingin turun tangan membantu. Namun tak ada yang telat atas nama kebaikan, daripada tidak sama sekali. Begitulah kami berusah untuk menghibur diri. Gerombolan polisi di daerah Mundu menghentikan kami dan meminta surat-surat berkendara. Tingkah laku para pengemudi yang tidak taat aturan membuat kami tertawa lepas, hingga penat tak terasa. Dan kami tiba pukul 17.00 WIB di Manislor.

Manislor yang sejuk, damai, aman. Manislor, surgaku. Itu yang dirasakan setelah 7 jam berkeliling ke Cirebon Timur. Tuhan sudah memberikan kita kenikmatan dalam bentuk Desa Manislor. Sudah saatnya kita berbagi kenikmatan itu di jalan Tuhan dalam kebaikan. Itulah salah satu rasa syukur kita atas takdir sebagai seorang Muslim(ah), seorang Ahmadi, dan warga Manislor.
Masihkah kita sibuk dengan urusan dunia untuk memperkaya perut sendiri? Masihkah kita sibuk dengan segala kegiatan yang sekedar seremonial belaka, padahal masih banyak orang yang membutuhkan uluran tangan kita dengan segera dan cepat tanpa mengenal kata lambat? Tak ada yang kebetulan saat adanya banjir di dekat hari Masih Mau’ud ‘alayhissalaam. Inilah tugas kita sebagi murid beliau untuk membuktikan keimanan yang tak hanya Hablu-minallaah, tapi juga Hablu-minannaas.

Fabiayyi aalaa-i Rabbikumaa tukadzdzibaaan. Maka nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang hendak didustakan? Sekian. (BK/LV).